28 April 2019

Kita Milenial, Kita Bersatu



Oleh : Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo
(Danrem 032/Wirabraja)

PADANG, (GemaMedianet.com) — Kiranya tak ada yang tidak pernah mendengar istilah generasi milineal. Sering juga disebut generasi Y. Para peneliti sosial, seperti dari laporan Pew Research Center (2010), mengatakan bahwa generasi milineal adalah kelompok yang eksis dan hidup di era sekarang, yang jika dihitung dari tahun kelahiran, berkisar antara 1980-an sampai 2000. Untuk Indonesia sendiri diperkirakan populasinya mencapai 34,45 persen. Sebuah kuantitas generasi yang luar biasa dan sekaligus calon pemimpin di masa datang.

Ciri khas generasi ini adalah lahir dan besar dalam dunia teknologi, terutama teknologi informasi. Kelompok ini punya karakteristik cenderung tidak punya keterikatan yang kuat dengan pendahulunya. Sangat wajar, mereka tidak mengalami bagaimana beratnya perjuangan membangun sebuah negara, tidak mendapat informasi yang jelas, pada beberapa sisi justru sangat kelebihan informasi. Sejarah masa lalu hampir pasti tidak mengidap secara nyata di aliran darah mereka. Tahu tapi tidak menjiwai. Mereka lebih fokus pada kondisi kekinian dan tantangan-tantangan masa depan.

Hadirnya generasi milineal, mau tidak mau berpengaruh besar pada lingkungan ekternal strategis. Mereka inilah yang nantinya, dimasa depan, akan menjadi calon-calon pemimpin di negara ini. Tak heran kelompok ini dijadikan sasaran baik konteks ekonomi, sosial, politik termasuk konteks “penguasaan” sebuah negara. Istilah proxy war menjadi relevan dalam melihat ini.

Proxy war secara konseptual diartikan sebagai perang non senjata konvensional, tetapi memiliki pengaruh besar dalam melemahkan dan menguasai negara. Sasarannya adalah penguasaan negara lain dari berbagai aspeknya. Perang jenis ini kerap kali tidak dilakukan oleh negara pelaku, tetapi memanfaatkan kelompok lain sebagai prajuritnya. Pola-pola konspirasi dikembangkan, intrik dilakukan, teknologi jadi andalan, dan akhirnya negara itu menjadi lemah atau paling tidak menjadi ketergantungan pada negara lain. Maka aspek bela negara menjadi relevan.

Bela negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 dan Pasal 30 UUD 1945, sudah tegas mengatakan bahwa ini adalah tekad, sikap, dan tindakan setiap warga negara secara teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia serta keyakinan pada Pancasila dan UUD 1945 demi keutuhan dan kemajuan NKRI. Tanggung jawab ini pada semuanya, termasuk unsur generasi kekinian yang pada saatnya nanti akan meneruskan estafet negara ini.

Bela negara perlu ditekankan karena semua perkembangan yang ada bisa memberikan berbagai ekses negatif dalam kehidupan berbangsa. Pertama, negara jadi open acces. Ini konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Teknologi satelit dan internet, menyebabkan semua pihak bisa mengakses dan kemudian menyebarluaskan informasi suatu negara, termasuk Indonesia. 

Kedua, modal sosial tergerus. Modal sosial adalah kekayaan lokal yang berasal dari pengetahuan dan pengalaman bertahun-tahun sebuah masyarakat, yang kemudian menjadi kekuatan utama bagi penjagaan keutuhan masyarakat setempat. Dalam wujudnya, modal sosial tampak dari tradisi gotong royong, ikatan kekerabatan, silaturrahim, kepedulian sosial, dan berbagai bentuk kearifan lokal lainnya. Hal ini dengan kuat digeser oleh realitas teknologi. Kita menjadi mudah tidak peduli dengan tetangga, kita menjadi jauh dari istilah Dunsanak. 

Ketiga, menguatnya mass culture/budaya massa. Budaya massa adalah jenis budaya yang sangat dipengaruhi oleh terpaan media massa termasuk media sosial. Budaya ini membentuk generasi yang disebut generasi instan, kurang melihat proses, senang dengan apa yang dicapai saja. 

Keempat, jati diri dan nasionalisme jadi taruhan. Bagi yang tidak memiliki basis pengetahuan yang kuat dan basis ideologi yang teguh, niscaya akan muncul sikap-sikap menganggap Indonesia itu hanya samar samar. Ini konsekuensi yang bakal dan sudah terasa.

Beberapa hal yang perlu dipahami bersama bahwa, kekuatan utama era disruptive adalah teknologi. Semakin kuat perkembangan teknologi informasi, maka semakin kuat pula perubahan generasi menjadi generasi milenial. Teknologi muncul karena kreatifitas. Saat Steve Jobs mengembangkan Apple Inc., dan kemudian menjadi produsen komputer pribadi ternama, kekuatan utama adalah kreatifitas dan kemampuan untuk melihat perkembangan yang ada. Begitu juga saat Samsung berhasil mengalahkan kejayaan Nokia, kreatifitas dan keberanian mengambil peluang. 

Pada posisi masyarakat sebagai subjek, maka kreatifitas teknologi akan sangat mudah dimanfaatkan untuk melakukan intervensi pada sistem sosial budaya di masyarakat. Contoh konkrit adalah teknologi informasi dalam penggunaan telepon seluler yang sekarang booming versi android, menggerus kepedulian sosial dan hubungan individu dan sosial di masyarakat. Maraknya penyebaran hoax, fitnah, caci maki, hujatan melalui media sosial adalah bentuk nyata gerusan teknologi pada aspek etika di masyarakat. Kita kemudian kehilangan ruh kebersamaan dan tepo seliro yang berkembang selama ini. 

Ajang pemilihan umum yang barusan dilakukan, sudah membuktikan bagaimana rapuhnya ikatan sosial di antara sesama anak bangsa. Perpecahan sangat mungkin terjadi.

Pada saatnya nanti harga diri berbangsa dan bernegara akan tergadaikan oleh desakan teknologi informasi. Borderless state adalah realitas yang sudah terjadi, tak usah lagi berdebat soal ini. Pertanyaannya adalah dimana posisi kita?

Kita percaya bahwa teknologi adalah free value, teknologi adalah benda mati. Tetapi teknologi diciptakan untuk membawa pesan tertentu. Saat Martin Cooper menciptakan telepon genggam pertama kali tahun 1973, mungkin ia tidak berpikir bahwa ini akan dimanfaatkan untuk ajang propaganda, intrik, fitnah dan sebagainya. Dipikirannya mungkin hanya bagaimana agar ini bisa digunakan untuk mempermudah hubungan antar manusia. Tetapi, kreatifitas berikutnya menunjukkan bahwa telepon genggam telah merambah kemana-mana. 

Pada konteks generasi milineal saat ini, kreatifitas harus terus didorong dan dimaksimalkan. Jangan mematikan kreatifitas, karena disitulah kematian sebagai umat manusia juga akan terjadi. Kreatifitas dan inovasi basisnya adalah NASIONALISME, keIndonesiaan.

Nasionalisme adalah semangat dan jiwa kebangsaan, memiliki pemahaman yang kuat bahwa kita adalah Indonesia dan apapun tindak tanduk kita adalah untuk Indonesia. Sekecil apapun tindakan yang dilakukan harus disadari bahwa itu adalah representasi dari KeIndonesiaan.

Indonesia adalah terepresentasi pada Wawasan Kebangsaan, yang artinya semua yang ada dan terdapat di jajaran Nusantara ini adalah Indonesia, baik manusianya, alamnya, hutannya, lautan, udara, dan apapun itu, adalah kondisi yang harus kita jaga dan lindungi bersama. Pikiran kita, pikiran anak bangsa haruslah liar dan selalu gelisah sebagai modal dasar munculnya inovasi. Tetapi liar dan gelisahnya tersebut harus diikat dalam satu visi kebangsaan.

Apa yang harus kita punyai untuk sampai kesana? Saya mencoba melakukan identifikasi sesuai dengan kacamata bela negara dan ketahanan nasional. 

Pertama, Naluri (Paham Benar Salah). Dalam bahasa lain sering disebut dengan etika, tetapi saya cenderung mengatakan naluri karena etika lebih kepada ajaran moral. Naluri lebih kepada dorongan dari dalam diri. Sifat dasar yang harus jadi panutan sehingga bisa membedakan aspek kebenaran dan kesalahan. Tahu buruk dengan baiknya, tahu efek dari yang dikerjakan. 

Kedua, Agresif (Mau Berkorban). Kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan dirinya. Sifat agresifnya tidak boleh dimatikan karena itu kunci penting inovasi. Agresifitas yang ditunjukkan bukan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi untuk kepentingan seluruh orang.

Ketiga, Keputusan (Berani Ambil Resiko). Seorang inovator adalah seorang yang berani beresiko, siap mengambil keputusan dan siap dengan segala konsekuensinya. Sikap nasionalisme Bung Hatta yang berani berseberangan dengan Bung Karno juga menunjukkan kemampuan mengambil putusan secara berani.

Keempat, Idea (Paham Dan Kuasai Masalah). Tentu saja semua sikap tersebut, agresif dan berani ambil resiko, harus didasari oleh kualitas ide yang kuat. Masalah harus dikuasai dulu, pahami siapa kita, sadari kemampuan kita, dan berusaha untuk berbenah diri. Pahami masalah, berarti paham dengan segala Lingkungan Strategis yang mengitari kita. 

Di atas semua itu, mari berbuat dan mari berbenah. Talk Less do More. Jadikan kebangsaan sebagai rantai pengikat, Pancasila sebagai benteng pertahanan dan NKRI sebagai wawasan bersama. Kita bisa menggunakan teknologi untuk melemahkan pihak lain, tetapi jika itu akan membakar rumah sendiri, disitulah komitmen kenegaraan menjadi pertanyaan.

Menjadi jelas, jika sekarang kita disibukkan dan dihebohkan dengan berbagai isu politik liar pasca pemilu lalu, sejatinya itu sasaran bagi gelombang milenial. Potensi perpecahan, mau tidak mau harus diakui disumbang oleh bombardir informasi yang tidak karuan, fitnah dan hoax. Kita harus melawan itu dengan sadar bahwa kita ada di rumah yang sama. 

Tak ada salahnya, pepatah Melayu kembali dipahami, ketuku batang ketakal, ketiga batang keladi puyang, sesuku kita seasal, senenek kita sepuyang. Itulah filosofis kita, filosofis masyarakat badusansak di era milenial. Mari kita jaga bersama. (*) 

0 comments:

Posting Komentar

PRAKIRAAN CUACA

eqmap

SOLOK SELATAN

Iklan

POLDA SUMBAR

iklan

TwitterFacebookGoogle PlusInstagramRSS FeedEmail

Statistic Views

Iklan

Iklan

Terkini

Iklan

FACEBOOK - TWEETER

Iklan

BUMN

Iklan

REMAJA DAN PRESTASI

Iklan KPU Pesisir Selatan

iklan

Arsip Blog